MAKALAH
PERKEMBANGAN
PESERTA DIDIK
MODEL
PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS,
KREATIVITAS, DAN MENTALITAS

Di
susun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat
guna
menempuh AKTA IV
Oleh:
Tri
Hatmoko Jati Pamungkas, S.Sos
Da.
0210.823
PROGRAM
AKTA IV
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
TUNAS PEMBANGUNAN
2011
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN STRATEGI PEMBELAJARAN
BERBASIS SOSIOLOGI KRITIS, KREATIVITAS, DAN MENTALITAS
BAB I
PENDAHULUAN
Pengembangan kurikulum adalah istilah
yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi
(Sudrajat, 2009). Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum
ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk
menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik.
Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha
mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi
kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan
seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program
yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Pengembangan kurikulum tidak hanya
melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di
dalamnya melibatkan banyak orang, seperti politikus, pengusaha, orangtua
peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan
dengan pendidikan. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan
pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang
akan menjiwai suatu kurikulum.
Kurikulum yang ada pada pendidikan
sekolah menurut Hamzah (2008) mengalami stagnasi, statis, dan berorientasi pada
materialitas. Stagnasi terlihat dari adopsi dan replikasi kurikulum pendidikan
sekolah. Nuansa hegemoni pada dunia pendidikan sekolah terasa mengental, bahkan
menuju ke arah status quo kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah
telah mengalami perubahan, pengurangan, dan penambahan muatan materi, akan
tetapi sekolah tidak melakukan perubahan kurikulum atau mengalami stagnasi
kurikulum yang berkelanjutan.
Lebih lanjut Hamzah (2008) berpendapat
kenyamanan karena adanya hegemoni tersebut membuat pola pikir dan arah nalar
para pendidik dan peserta didik terpasung dalam pendidikan yang menjerumuskan
bukannya pendidikan yang membebaskan. Untuk itu, internalisasi sikap, perilaku,
dan tindakan kritis pada kurikulum pendidikan sekolah perlu dilakukan. Hal ini
ditunjukkan dengan melakukan kajian kritis pada setiap adopsi dan replikasi
kurikulum yang digunakan oleh sekolah.
Kestatisan pada kurikulum pendidikan
sekolah terlihat dari tidak adanya kreativitas dalam kurikulum tersebut. Kalau
terdapat kreativitas, itu pun mengarah pada materialitas yang selama ini sudah
didoktrinkan oleh beberapa pendidik kepada peserta didik. Ketiadaan kreativitas
ini terbelenggu dengan adanya pembatasan kurikulum yang semata-mata mengacu
pada hal-hal yang bernuansa ekonomi dan hitungan saja. Pengembangan intuisi,
imajinasi, dan inspirasi yang mengarah pada inovasi tidak atau kurang
diinternalisasi pada kurikulum. Begitu pula keterkaitan pendidikan sekolah
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya kurang begitu diperhatikan.
Adanya pemasungan kreativitas pada
kurikulum tersebut mengakibatkan terhambatnya daya inovasi, inspirasi, dan
imajinasi sekaligus menumpulkan intuisi dalam pengembangan pendidikan sekolah.
Keterjebakan kurikulum pendidikan sekolah pada stagnasi dan statis menurut
Hamzah (2008) menjadi dilematis dengan mengarahkannya kepada materialitas.
Nilai mentalitas, seperti kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang masih belum
nampak di dalam kurikulum pendidikan sekolah.
Hal ini dipertegas oleh Topatimasang
dan Fakih (2007) yang menyatakan kurikulum pendidikan sekolah cenderung
menafikan nilai mentalitas, tetapi mengutamakan nilai materialitas.
Keseimbangan muatan kurikulum pada nilai materialitas dan mentalitas berjalan
berat sebelah. Strategi balanced scorecard yang diajarkan pada intinya
dimuarakan pada kepentingan materialitas bukan pada keseimbangan antara
materialitas dan mentalitas. Hal ini dapat mengakibatkan keluaran dari
pendidikan sekolah adalah insan-insan yang materilitas dan distigma.
Oleh karena itu strategi pembelajaran
pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan
internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas (Agger,
2006). Hal ini tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan
merasuki kurikulum yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah
strategi pembelajaran yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive
view of learning menjadi constructive view of learning. Konsep ini
pada dasarnya membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses
belajar mengajar selama ini.
Konsep reproductive view of learning
yang selama ini dihasilkan hanya menghasilkan keluaran yang bersifat mengikut
saja tanpa mampu bersikap kritis, kreatif, dan mempunyai nilai-nilai mental.
Ini berbeda dengan konsep constructive view of learning yang berpegang
pada nilai-nilai kritis, kreatif, dan nuansa mentalitas. Dalam konsep ini agar
dihasilkan mutu pendidikan tinggi akuntansi yang berkualitas, maka anak didik
diinternalisasi dengan sikap kritis. Salah satu diantaranya adalah dengan
paradigma dekonstruksi, keluar dari kotak awal pengetahuan yang membelenggu,
serta dijiwai nilai-nilai mentalitas berupa kejujuran, keadilan, kasih, dan
sayang.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Landasan Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah suatu proses
yang menentukan bagaimana kurikulum akan dapat dilaksanakan. Bondi dan Wiles
(1989:87) berpendapat pengembangan kurikulum yang terbaik adalah proses yang
meliputi banyak hal, yakni 1) kemudahan suatu analisis tujuan, 2) rancangan
suatu program, 3) penerapan serangkaian pengalaman yang berhubungan, dan 4)
peralatan dalam evaluasi proses.
Pengembangan kurikulum agar dapat
berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum
diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum
menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:268) mengacu pada tiga unsur, yaitu 1) nilai
dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan manusia seutuhnya, 2) fakta
empirik yang tercermin dari pelaksanaan kurikulum, baik berdasarkan penilaian
kurikulum, studi, maupun survei lainnya, dan 3) landasan teori yang menjadi
arahan pengembangan dan kerangka penyorotnya.
Lebih lanjut
Dimyati dan Mudjiono (2006:269-272) mengemukakan landasan pengembangan
kurikulum mencakup:
- Landasan Filosofis
Pendidikan ada dan berada dalam
kehidupan masyarakat sehingga apa yang dikehendaki oleh masyarakat untuk
dilestarikan diselenggarakan melalui pendidikan. Segala kehendak yang dimiliki
oleh masyarakat merupakan sumber nilai yang memberikan arah pada pendidikan.
Dengan demikian pandangan dan wawasan yang ada dalam masyarakat merupakan
pandangan dan wawasan dalam pendidikan atau dapat dikatakan bahwa filsafat yang
hidup dalam masyarakat merupakan landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan.
Filsafat menurut Winecoff (1988:13)
sebagai suatu studi tentang hakikat realitas, hakikat ilmu pengetahuan, hakikat
sistem nilai, hakikat nilai kebaikan, hakikat keindahan, dan hakikat pikiran.
Oleh karena itu landasan filosofis pengembangan kurikulum adalah hakikat
realitas, ilmu pengetahuan, sistem nilai, nilai kebaikan, keindahan, dan
hakikat pikiran yang ada dalam masyarakat.
- Landasan Sosial, Budaya, dan Agama
Realitas sosial, budaya, dan agama yang
ada dalam masyarakat merupakan bahan kajian pengembangan kurikulum untuk
digunakan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebersamaan individu dalam
masyarakat diikat dan terikat oleh nilai yang menjadi pegangan hidup dalam
interaksi di antara mereka. Nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan dihormati
dalam masyarakat mencakup nilai keagamaan dan sosial budaya. Nilai keagamaan
berhubungan dengan kepercayaan masyarakat terhadap ajaran agama, oleh karena
itu umumnya bersifat langgeng (Joni, 1983:5).
Nilai sosial dan budaya masyarakat
bersumber pada hasil karya akal budi manusia, sehingga dalam menerima,
menyebarluaskan, melestarikan, dan melepaskannya manusia menggunakan akalnya.
Dengan demikian apabila terdapat nilai sosial budaya yang tidak diterima/tidak
sesuai dengan akalnya akan dilepas. Oleh karena itu nilai sosial dan budaya
lebih bersifat sementara jika dibandingkan dengan agama. Untuk melaksanakan
penerimaan, penyebarluasan, pelestarian, atau penolakan dan pelepasan nilai
sosial-budaya-agama, maka masyarakat menggunakan pendidikan yang dirancang
melalui kurikulum.
- Landasan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni
Pendidikan merupakan upaya penyiapan
peserta didik menghadapi perubahan yang semaki pesat, termasuk di dalamnya
perubahan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Sukmadinata (1997)
mengemukakan pengembangan ipteks secara langsung akan menjadi isi/materi
pendidikan, sedangkan secara tidak langsung memberikan tugas kepada pendidikan
untuk membekali masyarakat dengan kemampuan penyelesaian masalah yang dihadapi
sebagai pengaruh perkembangan ipteks. Selain itu perkembangan ipteks juga
dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah pendidikan.
- Landasan Kebutuhan Masyarakat
Adanya falsafah hidup, perubahan
sosial-budaya-agama, dan perubahan ipteks dalam suatu masyarakat akan merubah
pula kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dipengaruhi oleh kondisi dari
masyarakat itu sendiri. Adanya perbedaan antara masyarakat satu dengan yang
lainnya sebagian besar disebabkan oleh kualitas dan kuantitas individu yang
menjadi anggota masyarakat. Pengembangan kurikulum menurut Sumantri (1988:77)
juga harus ditekankan pada pengembangan individual yang mencakup keterkaitannya
dengan lingkungan sosial setempat. Sehingga disimpulkan landasan pengembangan
kurikulum adalah kebutuhan masyarakat yang dilayani melalui kurikulum yang
dikembangkan.
- Landasan Perkembangan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dipengaruhi
oleh falsafah hidup, nilai, ipteks, dan kebutuhan yang ada dalam masyarakat.
Falsafah hidup akan mengarahkan perkembangan masyarakat, nilai-nilai
sosial-budaya-agama akan merupakan penyaringan nilai-nilai lain yang menghambat
perkembangan masyarakat. Ipteks mendukung perkembangan masyarakat dan kebutuhan
masyarakat akan membantu menetapkan perkembangan yang akan dilaksanakan.
Perkembangan masyarakat akan menuntut tersedianya proses pendidikan yang sesuai.
Untuk menciptakan proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat
maka diperlukan rancangannya berupa kurikulum yang landasan pengembangannya
berupa perkembangan masyarakat itu sendiri.
Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum menggunakan
prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru
menciptakan sendiri prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum
di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip
yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya,
sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam
suatu pengembangan kurikulum.
Sukmadinata (1997) mengemukakan
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua macam yaitu
prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pengembangan kurikulum adalah
relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip khusus
pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip
berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan
proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat
pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Hal senada dikemukakan oleh Hernawan
dalam Sudrajat (2009) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum,
yaitu:
- Prinsip relevansi, secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi, dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosiologis),
- Prinsip fleksibilitas, pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur, dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik,
- Prinsip kontinuitas, yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antarjenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan,
- Prinsip efisiensi, yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan sumber daya pendidikan yang ada secara optimal, cermat, dan tepat sehingga hasilnya memadai,
- Prinsip efektivitas, yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menurut Sudrajat (2009) terdapat sejumlah
prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan,
- Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi,
- Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
- Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan,
- Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan,
- Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya,
- Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas
itulah yang membedakan antara penerapan satu Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru tampaknya sering kali
terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu dapat dikatakan sebagai ruh atau jiwanya
kurikulum. Dalam menyikapi suatu perubahan kurikulum, banyak lebih terfokus
hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari kurikulum. Padahal jauh
lebih penting adalah perubahan kultural (perilaku) guna memenuhi
prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
Inovasi dan Pengembangan Kurikulum
Inovasi dan pengembangan kurikulum
dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu
berubah, menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta
didik). Hal ini dipertegas oleh Audrey dan Nicholls (1982: 21-30) mengemukakan
bahwa karena masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah
awal dalam perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation
analysis) yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar
dalam arti menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang
diharapkan melaksanakan kegiatan.
Istilah inovasi mengandung arti
tindakan menciptakan sesuatu yang baru yang membawa perubahan dengan
menghasilkan gagasan dan pendekatan atau metode baru (Sidjabat, 2009). Untuk
menghasilkan sesuatu yang baru, yang diharapkan lebih berdaya guna, harus
bertolak dari apa yang ada. Sulit sekali memulai dan meningkatkan sesuatu dari
sesuatu yang belum ada (ex nihilo). Inilah juga yang dimaksud dengan
pengembangan. Oleh karena itu inovasi dan pengembangan selalu terkait erat.
Dinamika globalisasi mengharuskan
pendidikan untuk senantiasa memikirkan pembaruan dalam banyak aspek termasuk
kurikulum. Ferris (1990:34-35) mengemukakan aspek yang dibutuhkan dalam upaya
pembaruan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Aspek mendasar yang harus
dijadikan pedoman, yakni: 1) kepekaan terhadap nilai budaya lokal (cultural
appropirateness), 2) kepedulian terhadap pergumulan dan kebutuhan siswa, (attentiveness
to the church), 3) merumuskan strategi yang fleksibel, peka terhadap
kebutuhan setempat (flexible strategizing), 4) menilai keberhasilan dari
hasil belajar peserta didik (outcomes assessment), 5) menekankan
pembentukan dan pertumbuhan iman (spiritual formation), 6) mengembangkan
kurikulum yang holistik mencakup sisi akademis, praktis, dan pelatihan
spiritualitas (holistic curricularizing), 7) melengkapi peserta didik
untuk melayani (service orientation), 8) mengembangkan kreativitas guru
dalam mengajar, memilih metode yang tepat (creativity in teaching), 9)
membentuk wawasan berpikir atas kehidupan (worldview), 10) mempertimbangkan
dimensi perkembangan peserta didik (developmental focus), dan 11)
memfasilitasi terbentuknya kerja sama (a cooperative spirit).
Inovasi dan pengembangan kurikulum
dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan
riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang
lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa
untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian
bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan. Hal
ini dipertegas oleh Kohl (2002:29-41) berdasarkan hasil risetnya dengan
mengusulkan tema-tema perubahan yang perlu dipikirkan oleh pendidikan di masa
depan mencakup: 1) isi yang diajarkan (kurikulum), tekanan misinya pada bidang
layanan para lulusan, 2) struktur organisasi yang mendukung pembelajaran, dan
3) sumber finansial demi kemandirian lembaga pendidikan sekolah itu sendiri.
Sistem inovasi pada dasarnya merupakan
suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, jaringan, hubungan,
interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan
kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik),
serta proses pembelajaran. Sistem inovasi sangat penting karena bukan semata
menyangkut kemajuan ipteks (termasuk misalnya melalui pendidikan, penelitian,
pengembangan dan kerekayasaan) tetapi juga bagaimana iptek dapat didayagunakan
secara maksimal bagi kepentingan nasional dalam pembangunan pendidikan,
ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian sebaliknya, perkembangan pendidikan,
ekonomi, sosial, dan budaya menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dan
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi arah dan kecepatan pemajuan ipteks.
Arnold dan Kuhlmann dalam Sukmayadi
(2004) yang menggambarkan skema tentang sistem inovasi seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Elemen Sistem Inovasi
Sistem inovasi memiliki peran dan
hubungan timbal balik sangat penting dengan pendidikan. Beberapa aktivitas
penting dalam sistem inovasi pendidikan menurut Liu dan White dalam Sukmayadi
(2004) adalah:
- Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa),
- Implementasi, misalnya manufaktur),
- Penggunaan akhir (end-use), pelanggan dari produk atau output proses,
- Keterkaitan (linkage), menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif,
- Pendidikan.
Disimpulkan bahwa sistem merupakan
elemen/pilar sangat penting bagi berkembangnya sistem inovasi pendidikan,
khususnya pengembangan kurikulum. Sistem inovasi yang kuat akan mendukung
perkembangan pendidikan yang semakin baik pula.
BAB
III
PEMBAHASAN
Model
Pengembangan Kurikulum dan Strategi Pembelajaran Berbasis Sosiologi Kritis,
Kreativitas, dan Mentalitas
Ilmu pengetahuan diawali dengan sarat
nilai dan sarat tujuan yang mulia. Ilmu pengetahuan adalah perjuangan terhadap
kebohongan, pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan
dan keacuhan yang semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia
sendiri. Begitu pula, pengembangan kurikulum menurut Hamzah (2007:4) juga penuh
dengan daya kritis, muatan kreatif, dan nuansa mentalitas. Banyaknya
ketidakjujuran dalam melakukan pengembangan, keterpasungan dalam melakukan
pekerjaan sesuai dengan pesanan, sengaja membiarkan kesalahan pada suatu
sistem, serta pola manajemen yang bertentangan dengan hati nurani bukan salah
pada ilmu pendidikan. Kesalahan awal terletak pada kurikulum dan strategi
pembelajaran yang selama digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan pada
pendidikan.
Kurikulum pendidikan sekolah merupakan
pertautan pengetahuan dan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses
pembelajaran. Adanya kepentingan menunjukkan adanya politik, dalam hal ini
politik adalah sistem irasional dengan variabel-variabel yang kompleks dan
sulit dimengerti oleh siswa terkadang oleh para guru sehingga sangat sulit
ditebak akan ke mana arah pendidikan sekolah yang ada saat ini. Untuk itu
menurut Sindhunata (2004) diperlukan kritik menuju pembebasan para guru dan
siswa dari irasionalitas menjadi rasional serta dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.
Hal ini dikarenakan institusi
pendidikan beserta para civitas akademik terjebak dan terbuai pada rasionalitas
serta ketidaksadaran yang berkelanjutan. Hal ini terlihat dari pengetahuan yang
didapat oleh siswa lebih banyak dari proses pembelajaran yang lebih banyak satu
arah bukan partisipasi yang bersifat dialektis yang diutamakan. Para guru masih
menganggap dirinya adalah dewa yang mengetahui segala persoalan dan
permasalahan dalam proses pembelajaran. Hal ini yang memadamkan dan menumpulkan
daya kritis siswa sehingga proses penalaran dan pengasahan dalam perenungan
menjadi terabaikan. Padahal pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata dari
proses pembelajaran saja, tetapi juga dari perenungan ide-ide, pengalaman, dan
pengamatan indra.
Bagi para guru yang kurang atau tidak
melakukan perenungan ide-ide, pengalaman, dan pengamatan indra, maka strategi
pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman dari
materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan dianggap
sebagai sesuatu yang given (pemberian), untuk itu tidak perlu sikap
kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat dan dijadikan
kontrak belajar antara para guru dan siswa juga dianggap sebagai sesuatu yang given
(pemberian). Tumpulnya perenungan ide-ide akan mematikan daya imajinasi, inspirasi,
dan inovasi terhadap sesuatu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi
proses pembelajaran selama ini juga lebih banyak menggunakan rasio sebagai alat
analisis.
Proses tersebut akan memunculkan
replikator-replikator baru bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Hal
ini dikarenakan rasio yang digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya
tidak netral dan historis atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk
membebaskan diri dari akal rasional dengan mengikatkan diri pada hati nurani.
Hal ini dikarenakan suara hati nurani adalah suara kejujuran yang paling
terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati nurani akan mengalami gejolak atau
penolakan di diri. Dengan adanya hal itu, maka dalam pembuatan kurikulum serta
pelaksanaan dalam proses belajar mengajar tidak semata-mata bertumpu pada
rasionalitas semata, tetapi juga pada perenungan ide-ide dengan imajinasi dan
inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang inovasi dengan berpegang pada kata
hati nurani.
Kritis berkaitan dengan memiliki
ketajaman dalam menganalisis suatu hal atau persoalan dan pengambilan
keputusan. Semakin tajam seseorang menganalisis suatu permasalahan maka akan
semakin tajam pula keputusan yang dibuat oleh orang tersebut. Ennis dalam
Hassoubah (2007:87) menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara
beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa
yang harus dipercayai atau dilakukan.
Hal senada dikemukakan oleh Johnson dan
Lamb (2000) yang menyatakan bahwa critical thinking involves logical thinking and reasoning
including skills such as comparison, classification, sequencing, cause/effect,
patterning, webbing, analogies, deductive, and inductive reasoning,
forecasting, planning, hypothesizing, and critiquing. Berpikir
kritis meliputi berpikir logis dan beralasan berkaitan dengan keterampilan
seperti membandingkan, menggolongkan, mengurutkan, sebab akibat, menyusun,
mengaitkan, analogi, proses berpikir deduktif, dan penyebab induktif, ramalan,
rencana, membuat hipotesis, dan tinjauan kritis.
Resnick dan Gokhale dalam Sudaryanto
(2007) menyarankan bahwa pembelajaran yang dilakukan dengan model diskusi
kelompok kecil juga dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis. Siswa yang tergabung dalam kelompok kecil akan mendapat kesempatan
mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain,
mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan,
membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan
motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan
menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
Kurikulum pendidikan sekolah terjebak
pada kestatisan yang berkelanjutan. Kestatisan tersebut tidak dilandasi dengan
pikiran, sikap, dan tindakan yang positif. Untuk keluar dari pikiran, sikap,
dan tindakan yang negatif menuju positif seakan-akan terasa sulit. Hal ini
dikarenakan ketidakpercayaan terhadap orang dan sistem yang ada. Hal ini juga
dikarenakan risiko yang ada terkait dengan perubahan pikiran, sikap, dan
tindakan yang dialami para guru dan keluaran dari institusi sekolah.
Kreativitas menurut Buzan dan Buzan (2003) adalah proses perubahan yang lebih
baik dengan memberi nilai tambah pada sesuatu dengan kemungkinan adanya risiko.
Tanpa adanya nilai tambah tersebut sesuatu akan berjalan statis.
Salim dan Salim (2002:776) menyatakan
bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan mencipta, sedangkan
kreativitas menurut Campbell dalam ADVY (2007) adalah suatu ide atau pemikiran
manusia yang bersifat inovatif, berdaya guna (useful), dan dapat
dimengerti (understandable). Aplikasi dari konsep tersebut adalah
seorang siswa harus banyak bertanya, banyak belajar, dan berdedikasi tinggi
untuk memperoleh kemampuan berpikir kreatif yang tinggi.
Melakukan kreativitas dalam pendidikan
sekolah terkadang berbenturan dengan pelanggaran aturan yang ada. Aturan yang
selama ini dibuat dan disimpan dalam kotak tidak boleh dilanggar atau dilakukan
perubahan. Untuk itu, perlu mendesakralisasi aturan tersebut dengan melakukan
perubahan. Lebih lanjut Buzan dan Buzan (2003) mengemukakan untuk merubah
aturan tersebut menjadi lebih baik, maka harus berpegang pada filosofi aturan
tersebut serta berpikir di luar kotak (out of the box).
Proses berpikir di luar kotak yang
belum banyak diasah oleh para guru dan siswa. Bahkan tidak hanya berpikir di
luar kotak, tetapi juga merangsang untuk menciptakan kotak baru dengan berpijak
pada proses berpikir di luar kotak. Jika hanya berpikir di luar kotak yang
selalu digunakan dan dihandalkan, maka akan terjadi proses konstruksi yang
destruksi. Proses kreativitas dalam pendidikan sekolah juga dapat dibuat dengan
berpijak pada asumsi yang ada maupun yang diciptakan. Pendidikan bersandar pada
asumsi yang ada, dengan menghilangkan, mengurangi, atau menambah asumsi-asumsi
yang ada akan tumbuh kreativitas yang berkelanjutan.
Kebuntuan kreativitas terkadang
terjebak pada penggunaan logika, karena logika berpola secara sistematis,
teratur, dan mekanis. Padahal kreativitas identik dengan pola pemikiran yang
lateral, acak, dan dinamis. Hambatan penumbuhan kreativitas pada pendidikan
tinggi akuntansi dikarenakan dominannya penggunaan logika dibandingkan dengan
intuisi dan imajinasi. Tanpa adanya pelatihan dan penumbuhan intuisi dan
imajinasi dalam pendidikan tinggi akuntansi, maka kreativitas akan berjalan di
tempat. Kreativitas juga dapat ditumbuhkan dengan melakukan kaitan sesuatu
dengan sesuatu hal yang lain yang mampu membuat nilai tambah dan berdaya guna.
Munandar (2002) mengemukakan untuk
melakukan kaitan dalam proses kreativitas dapat dilakukan dengan kaitan yang
tak berkaitan. Dengan kata lain, melampaui dari sesuatu yang dijadikan pijakan
untuk mengaitkan dengan sesuatu yang lain. Dalam proses mengaitkan tersebut,
kreativitas akan semakin tumbuh dengan kemampuan untuk memilah dan memilih
bagian dari sesuatu yang berdaya guna dan bernilai tambah. Pada pendidikan
sekolah proses untuk menjadi kreativitas kurang diperkenalkan/diajarkan,
akibatnya keluaran dari institusi pendidikan sekolah adalah insan-insan yang
statis tanpa mampu melakukan perubahan yang berarti dengan memberi nilai
tambah, daya guna, dan daya hasil bagi masyarakat.
Kemampuan berpikir kreatif dapat
memudahkan siswa dalam memperdalam ilmu pengetahuan yang dimiliki dan
mempertajam kemampuan siswa untuk menganalisis permasalahan yang timbul dalam
usahanya mempelajari materi tertentu, sehingga siswa dapat mempelajari materi
yang disajikan di sekolah dengan baik, dan mampu menerapkan ilmu pengetahuan
yang telah didapatkannya. Kemampuan berpikir kreatif dapat diketahui oleh orang
lain di sekitar. Guru hendaknya mengetahui kemampuan berpikir kreatif dari
siswanya sehingga dapat mengenali karakteristik siswanya dan pada akhirnya
dapat menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.
Setiap sistem terkandung nilai-nilai
tersendiri. Pendidikan sekolah merupakan sistem maupun subsistem pendidikan
tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Dalam hal ini, pendidikan
sekolah sebagai suatu sistem, semua upaya boleh dilakukan agar sistem dapat berjalan
seoptimal mungkin, yang ditekankan adalah bahwa ada tujuan utama proses
pembelajaran yang paling mulia dengan nilai yang luhur pula yang merupakan
nilai universal yaitu nilai kemanusiaan. Nilai yang menjadikan para pendidik
dan anak didik mempunyai ketangguhan pribadi, ketangguhan sosial, dan
ketangguhan antar manusia dengan dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran, keadilan,
kasih, dan sayang.
Nilai yang menyeimbangkan antara
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dalam
diri para pendidik dan anak didik. Nilai tersebut dikerahkan sebagai
keseluruhan usaha dalam sistem pendidikan sekolah. Masalahnya dengan pendidikan
tinggi akuntansi yang dituangkan dalam kurikulum selama ini merupakan sistem
yang memiliki tata nilai sendiri yang telah berulang-ulang kali terjadi dalam
sejarah, yaitu nilai-nilai sempit sistem yang menggantikan nilai luhur
pendidikan tinggi akuntansi sehingga tujuannya menjadi tujuan egois sistem itu
sendiri yang mengarah pada materialitas.
Nilai sempit ini terlihat dari
ketangguhan pribadi yang mengungguli ketangguhan sosial dan ketangguhan antar
manusia serta kecerdasan intelektual yang mendominasi kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual. Sistem tersebut akhirnya hidup dan sadar bahwa ia
mempunyai keinginan sendiri sehingga mengeksploitasi para guru dan siswa yang
merupakan pembuatnya untuk mencapai tujuan-tujuan egoisnya sendiri, yaitu
materialitas (Hamzah, 2007:8). Ketika para guru dan siswa mulai sadar akan hal
ini dan mencoba menggantikan sistem tersebut oleh sistem yang baru yang
menawarkan pada pendidikan yang membebaskan, maka banyak mengalami
permasalahan, baik dari sistem yang sudah ada maupun para pemakai dan pembuat
sistem tersebut.
Permasalahan terbesar khususnya dari
pemakai dan pembuat sistem tersebut, yaitu ketakutan akan berkurangnya atau
hilangnya nilai-nilai yang bersifat materialitas. Bahaya terbesar suatu sistem
adalah dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya bersifat
sementara dan elastis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman. Plato dalam
Hamzah (2007:8) dengan teorinya falsification menyatakan bahwa suatu
teori atau nilai-nilai pada pengetahuan yang dianut saat ini bukan suatu
kebenaran yang hakiki.
Kurikulum pendidikan sekolah yang
merupakan turunan dari teori serta nilai-nilai dari suatu ilmu pengetahuan.
Dalam perjalanannya, pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum telah tumbuh
begitu kuatnya sehingga hegemoni telah mencakup segala sisi dari para guru,
siswa, dan sekolah sebagai institusi pendidikan. Bahayanya terletak dari
dogmatisasi nilai-nilai pendidikan yang diajarkan pada sekolah. Kurikulum
pendidikan sekolah telah terstruktur sedemikian rupa sehingga telah mempunyai
arogansi dan egoistis untuk menyatakan dirinya sebagai satu-satunya yang berhak
dalam menyatakan kebenaran. Hal ini menurut Hamzah (2007:9) menurun dalam
penyelenggaraan pendidikan sekolah yang didominasi perspektif positivistik.
Perspektif ini merupakan proses
fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang
harus sesuai dengan pasar kerja. Para guru dan siswa tidak sadar dibuat
seolah-olah sebagai robot yang menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan.
Dengan kata lain, para guru dan siswa seakan-akan tidak mempunyai hati, nurani,
dan jiwa didiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan yang menjerumuskan
bukan pendidikan yang membebaskan, seakan-akan pasar kerja mempunyai kekuatan
dan kekuasaan yang mendominasi para guru dan siswa. Untuk itu, perspektif ini
harus diubah dengan meletakkan manusia yang mengontrol dan mengendalikan pasar
kerja.
Pendidikan yang membebaskan merupakan
upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar kerja yang
penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari kejujuran,
keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara institusi
sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan manusia
satunya. Hal ini dipertegas oleh Agger (2006) bahwa untuk mengembangkan
kurikulum yang berbasis pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas
harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan
strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran.
Strategi pembelajaran yang bertumpu
pada teori harus diimbangi dengan praktik yang ada. Banyak guru pada pendidikan
sekolah hanya berpijak pada teori semata, sehingga setelah selesai teori
tersebut diajarkan, maka perlahan-lahan pudar materi yang selama ini tertanam
di benak siswa. Strategi pembelajaran yang inovatif adalah menciptakan aktivitas
agar anak didik dapat terlibat langsung dalam proses pendidikan sekaligus
terlibat dalam keseluruhan proses.
Strategi pembelajaran tersebut tidak
hanya bersifat ceramah semata saja, tetapi juga dengan adanya simulasi, studi
kasus, tanya jawab, curah pendapat, diskusi kelompok, penugasan, demonstrasi,
peragaan, dan studi lapangan. Penggunaan media belajar yang bervariasi dan
menggunakan hasil teknologi dapat meningkatkan siswa untuk ingin lebih
mengetahui. Siswa yang memiliki rasa ingin lebih tahu mempunyai kecenderungan
untuk bertanya tentang suatu materi pelajaran yang dipelajarinya.
BAB
IV
KESIMPULAN
Pengembangan kurikulum adalah istilah
yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi.
Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja
kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan
perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan
Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan
kurikulum ke dalam tindakan operasional.
Oleh karena itu strategi pembelajaran
pada pendidikan sekolah harus diberi fondasi terlebih dahulu dengan
internalisasi sosiologi kritis, inovasi, kreativitas, dan mentalitas. Hal ini
tidak berhenti pada fondasi saja, tetapi juga diupayakan merasuki kurikulum
yang ada pendidikan sekolah. Selain itu, juga mengubah strategi pembelajaran
yang selama ini berdasarkan pada konsep reproductive view of learning
menjadi constructive view of learning. Konsep ini pada dasarnya
membangun tanpa merusak fondasi yang sudah baik pada proses belajar mengajar
selama ini.
Pengembangan kurikulum agar dapat
berhasil sesuai dengan yang diinginkan, maka dalam pengembangan kurikulum
diperlukan landasan-landasan pengembangan kurikulum. landasan pengembangan
kurikulum mencakup: 1) landasan filosofis, 2) landasan sosial, budaya, dan
agama, 3) landasan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, 4) landasan kebutuhan
masyarakat, dan 5) landasan perkembangan masyarakat
Prinsip umum pengembangan kurikulum
adalah relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas. Prinsip
khusus pengembangan kurikulum adalah berkenaan dengan tujuan pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan
pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan
alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Inovasi dan pengembangan kurikulum
dilakukan karena melaksanakan pengembangan kurikulum bersifat dinamis, selalu berubah,
menyesuaikan diri dengan kebutuhan mereka yang belajar (peserta didik).
Masyarakat dan mereka yang belajar mengalami perubahan maka langkah awal dalam
perumusan kurikulum ialah penyelidikan mengenai situasi (situation analysis)
yang dihadapi masyarakat, termasuk situasi lingkungan belajar dalam arti
menyeluruh, situasi peserta didik, dan para calon pengajar yang diharapkan
melaksanakan kegiatan.
Inovasi dan pengembangan kurikulum
dalam pendidikan merupakan kebutuhan yang terus harus diperhatikan. Diperlukan
riset lapangan dan refleksi pengalaman untuk mengembangkannya. Strategi yang
lebih baik lagi dalam pengembangan ini ialah kebersamaan para guru dan siswa
untuk mengevaluasi kurikulum dan pembelajaran yang sudah ditempuh, kemudian
bersama-sama berunding mengusulkan pendapat bagaimana melakukan pembaruan.
Mengembangkan kurikulum yang berbasis
pada sosiologi kritis, kreativitas, dan mentalitas harus didukung dengan
strategi pembelajaran yang inovatif atau berbeda dengan strategi-strategi yang
selama ini dilakukan dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang membebaskan
merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik membuat pasar
kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini tercermin dari
kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para guru dan siswa, antara
institusi sekolah dan para civitas akademik, serta antara manusia satu dan
manusia satunya.
DAFTAR PUSTAKA
ADVY. 2007. Kreativitas (online).
(http://www.advy.ac.id, diakses 4 April 2007).
Agger, B. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik,
Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Audrey, dan Nicholls, S. H. 1982. Developing a
Curriculum: A Practical Guide. London: George Allen & Unwin.
Bondi, J., dan Wiles, J. 1989. Curriculum Development:
A Guide to Practice. Columbus: Merril Publishing Company, A Bell &
Howel Information Company.
Buzan, T., dan Buzan, B. 2003. The Mind Map Book.
London: BBC Worldwide Limited.
Dimyati, dan Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ferris, R. W. 1990. Renewal in Theological Education:
Stragies for Change. New York: Billy Graham Center.
Hamzah, A. 2007. Model Pengembangan Kurikulum dan
Strategi Pembelajaran Berbasis Mentalitas. Bangkalan: Universitas
Trunojoyo.
Hassoubah, Z. I. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan
Kritis: Disertai Ilustrasi dan Latihan. Bandung: Nuansa.
Johnson, L. dan Lamb, A. 2000. Critical and Creative
Thinking-Bloom’s Taxonomy (online). (http://eduscape.com, diakses 5 Agustus
2007).
Joni, T. R. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kohl, M. W. 2002. Theological Education: What Needs to Be
Changed. Dalam Kohl, M. W. (Eds.), Educating for Tomorrow: Theological
Leadership for the Asian Context. Bangalore: Saiacs Press.
Munandar, S. C. U. 2002. Kreativitas dan Keberbakatan
Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Salim, P, dan Salim, Y. 2002. Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer. Jakarta: Modern English Press.
Sidjabat, B. S. 2009. Pentingnya Inovasi dan Pengembangan
Kurikulum dalam Pendidikan (online). (http://www.tiranus.net, diakses 26 Desember 2009).
Sindhunata. 2004. Dilema Usaha Manusia Rasional.
Jakarta: Rajawali Press.
Sudaryanto. 2007. Pembelajaran Kemampuan Berpikir
Kritis (online). (http://www.fk.undip.ac.id, diakses 9 Juli 2008).
Sudrajat, A. 2009. Prinsip Pengembangan Kurikulum
(online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com, diakses 26
Desember 2009).
Sukmadinata, N. S. 1997. Pengembangan Kurikulum: Teori
dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sukmayadi, D. 2004. Cakrawala Inovasi Pendidikan:
Upaya Mencari Model Inovasi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Topatimasang, R., dan Fakih, M. 2007. Pendidikan
Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Insist Press.
Winecoff, H. L. 1989. Curriculum Development and
Instructional Planning. Sydney: Prentice Hall of Australia Limited.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar